Rabu, 13 April 2011

Seks Pranikah Remaja Ponorogo: Menanti Kalangan Dewasa Berbagi Pengalaman

Mayoritas Remaja Ponorogo Lakukan Seks Pranikah.” Ini judul berita di www.mediaindonesia.com (18/12-2010). Disebutkan: “Mayoritas remaja di Kota Reyog Ponorogo, Jawa Timur, diduga sudah pernah melakukan hubungan pranikah atau seks bebas.” Ada beberapa hal yang perlu ditanggapi terkait dengan pernyataan pada lead berita dimaksud.
Pertama, judul berita yang menonjolkan remaja mengesankan hanya remaja yang melakukan seks pranikah. Ini mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap remaja. Hal ini merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Kedua, jika ‘seks bebas’ dimaksudkan sebagai hubungan seksual di luar nikah maka lagi-lagi berita ini memojokkan remaja karena ‘seks bebas’ juga dilakukan kalangan dewasa, termasuk yang terikat dalam pernikahan yang sah secara agam adan hukum.
Ketua Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Ponorogo, Jawa Timur, Endang Retno Wulandari, mengatakan: “Estimasi tersebut didasari hasil survei secara acak yang telah dilakukan selama enam bulan terakhir. Hasilnya, jumlah remaja putri yang pernah melakukan hubungan pranikah atau seks bebas mencapai kisaran 80%.” Pertanyaan yang sangat mendasar adalah” Bagaimana survai dilakukan? Yang dikhawatirkan survai hanya dengan menyebarkan angket dengan pertanyaan tertutup dengan jawaban ya atau tidak. Bisa saja mereka asal contreng atau merada malu kalau tidak mengiyakan perilaku seks pranikah.
Survai ini menunjukkan arogansi kalangan dewasa yang menjadi remaja sebagai ‘pelengkap penderita’ untuk menutupi perilaku ‘seks bebas’ mereka. Maka, suvai pun tidak membeikan angaka perbandingan ‘seks bebas’ di kalangan dewasa sehingga mengesankan hanya remaja yang (moralnya) bobrok. Padahal, fakta menunjukkan sekarang kian banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan bahwa suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom di luar perkawinan dengan perempuan yang mengidap HIV.
Disebutkan pula bahwa: “ ….. perilaku seks bebas di kalangan remaja putra sudah pada tahap mengkhawatirkan.” Dalam kaitan ini yang perlu diperhatikan adalah selama ini tidak ada informasi yang akurat yang diterima remaja bagaimana cara menyalurkan dorongan seks. Soalnya, pada masa remaja dorongan seks sangat tinggi. Penyaluran dorongan seks tidak bisa diganti dengan kegiatan lain selain melalui hubungan seksual atau cara-cara lain yang bisa mencapai ejakulasi.
Untuk itulah kita berhadap para orang tua atau kalangan dewasa mau bebagi pengalaman dengan remaja tentang cara mereka menyalurkan dorongan seks di masa remaja mereka.
Disebutkan pula, salah satu faktor yang yang mendorong perilaku ‘seks bebas’ yang tinggi di kalangan remaja Ponorogo adalah ‘pudarnya kearifan lokal’. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan ‘kearifan lokal’ di Ponorogo terkait dengan seks.
Retno mengingatkan harus ada upaya bersama untuk mengatasi masalah perilaku seks pranikah di kalangan remaja karena kalau tidak dilakukan maka remaja akan semakin hancur. Lagi-lagi ini hanya pengalihan karena perilaku yang sama di kalangan dewasa, khususnya seks di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti dan dengan yang sering berganti-ganti pasangan, justru jauh lebih berbahaya. Jika mereka tertular HIV maka laki-laki dewasa itu akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, seperti kepada istrinya atau perempuan pasangan seks lain.
Ketua PKK Ponorogo, Sulastri Amin, mengatakan prihatin dengan banyaknya remaja setempat yang sudah mengenal seks bebas. Sayang, Ketua PKK ini tidak melihat hal yang sama pada kalangan dewasa. Kondisi ini membuat kalangan dewasa ‘leluasa’ menyalurkan dorongan seksualnya melalui ‘seks bebas’ karena luput dari perhatian. Maklum, yang dihujat hanya remaja.
Kondisi itu akan membawa petaka bagi penduduk Ponorogo yang kelak dapat dilihat dari jumlah ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV-positif. ***